Kala itu sepulang sekolah, saya
diajak oleh Alif ke toko buku. Awalnya tidak mau ikut, karena sedang tidak enak
badan. Tapi, karena ingin merasa enak badan, saya memutuskan untuk mengikuti
pria bernama Alif.
Saya dan Alif sedikit berbeda. Saya
lebih memilih menggunakan kata “saya” untuk berkomunikasi ke orang lain, kecuali
dalam kondisi tertentu. Tapi untuk orang seperti Alif, saya rasa tidak masalah.
Dan saya rasa kalian tidak perlu tau kenapa saya tidak menggunakan kata lo-gue.
Kemudian, kesamaan saya dengan Alif cukup banyak. Kami sama-sama punya mata,
kalau jalan pakai kaki, sama-sama bernafas, dan masih banyak lagi.
‘Bin, pake motor lo atau motor
gue?’ Tanyanya saat di parkiran sekolah.
‘Motormu aja. Motor saya lagi males
ke pom bensin.’
‘Oh yaudah.’
Kami pun menaiki kendaraan roda dua
yang biasa disebut sepeda motor. Tidak dengan mesrah! Tidak! Kami masih
menyukai kaum wanita.
Sungguh!
‘Lif, lobang hidungmu biasa dimasukin
lemari ya?’ tanya saya dalam hati mengenai lobang hidungnya yang kemungkinan
bisa menjadi mesin sedot debu bertenaga kuda. Tapi pertanyaan tersebut saya
urungkan. Takut-takut, dia sedot saya dengan hidungnya.
‘Lif, mau ke Gramedia mana?’ tanya
saya, setelah sudah tau pertanyaan apa yang sekiranya aman.
‘Deket mesjid Bani Umar. Disitu
masih baru, terus lengkap.’ Katanya sambil mengendarai motor.
‘Seharusnya saya istirahat di
rumah, bukannya nemenin kamu.’ Kata saya dengan muka yang sengaja dibuat datar
agar tampak menyebalkan.
‘Loh emang kenapa? Gak nyesel deh
ngikut, haha.’ Katanya.
‘Saya lagi gak enak badan.’
‘Kok gak keliatan? Elu kenapa gak
bilang?!’ seketika dia melihat muka datar saya dari spion.
‘Emang kalau sakit harus keliatan
sakit ya?’
‘Yauda deh, balik aja.’
‘Eh jangan!’
‘Kenapa? Elu kan sakit katanya.’
‘Maksudnya, jangan langsung balik.
Motor saya masih di sekolah.’
‘Maksudnya, balik ke sekolah bin.’
‘Eh jangan!!’
‘Kenapa? Mau bilang kalau rumah lo
bukan di sekolah?’ Katanya. Tampaknya dia sudah biasa dengan permainan kata
yang saya buat.
‘Enggak, hehe. Jangan balik!’
‘Elu gak apa-apa?’
‘Gak apa-apa. Saya pengen ngerasa
enak badan.’
‘Loh kok bisa?’ kembali dia heran.
‘Ya bisalah! Dengar-dengar, banyak
hal yang menyenangkan di luar rumah. Rasa senang bisa menghilangkan rasa sakit
kan?’ Ujar saya.
Alif? Dia hanya tertawa
mendengarnya.
Sesampainya di toko buku, saya dan
Alif memasuki gedung layaknya manusia normal. Disana banyak sekali manusia.
Sama seperti saya dan Alif. Sama-sama bernafas. Hanya saja meski sesama
penduduk bumi, kami tidak saling kenal. Sungguh aneh.
Sebelum benar-benar ke toko buku,
saya pergi ke toilet untuk menyapa kaca. Sudah ganteng kah muka ini.
Setelah selesai menyapa kaca, di
depan toilet, saya temui seorang laki-laki dan perempuan. Tampaknya dia penjaga
toilet tersebut. Karena sesama penduduk bumi, saya ajak mereka bicara.
‘Siang mas, mba. Toko buku dimana
ya?’ Tanya saya.
‘...’ diam.
‘Hoo gak tau ya? Yauda, salam kenal
ya mas, mba.’ Kata saya sambil menunggu balas mereka.
‘...’ masih diam.
‘Hei jawab dong. Kata guru saya gak
boleh sombong!’
‘...’
Dia pun terus bungkam. Entah apa
yang membuat dia begitu. Tapi seram juga, kalau ada lambang toilet yang bisa
bicara. Perkenalan saya dengan lambang toilet pun tertunda karena imajinasi
saya tidak mau membuatnya bicara.
Saya, Alif dan manusia yang juga
ingin membeli buku, pergi ke toko buku. Sesampainya di area buku yang kami
cari. Lebih spesifiknya buku pembahasan Ujian Nasional. Kembali diri ini
melakukan hal yang tak penting.
‘Jadi kapan ayah mau datang?’ Kata
saya kepada Alif.
‘Ha?’ katanya.
Pertanyaan frontal yang saya berikan
ketika sedang memilih buku tampaknya mulai membuatnya bingung. Dia mungkin
tidak tau kalau saya sedang membuat dirinya dan orang di sekitar bingung, atau
mungkin dia sudah tau. Entah lah.
‘Iya, katanya ayah mau datang. Kita
jadinya disuruh nunggu di Gramedia nih?’ Kata saya ke Alif dan sengaja
dikencangkan agar pegawai yang kebetulan berada di dekat kami dengar.
‘Ha apaan sih bin?’ Tanya Alif
dengan muka yang bingung.
‘Hus! bilang aja iya. Kita buat
mas-mas itu penasaran sama kita.’ Kata saya dengan volume suara yang kecil dan
melirik ke penjaga buku Gramedia. Lebih tepatnya, ke seorang laki-laki yang
berdiri tiga langkah di samping Alif. Lebih spesifiknya lagi, ke seorang
laki-laki dengan pandangan penuh curiga, yang berdiri tiga langkah di samping
teman saya yang bernama Alif.
“Ini
anak siapa?! Anak yang punya Gramedia?” mungkin itu yang dikatakannya dalam
hati. Atau mungkin “Mahkluk darimana nih?!!!”
Alif hanya tertawa. Untunglah Alif
memaklumi saya. Jika ada saya, dia harus tabah.
Karena tak mau berlama-lama dengan
hal yang tidak penting, saya pergi mencari apa yang saya cari. Saat di bagian
rak novel, datang seorang perempuan.
‘Bintang, cari buku apa?’ katanya.
Saya pun menoleh dan melihat
perempuan yang memanggil nama saya. Cukup cantik, saya dibuatnya linglung.
Selang beberapa detik, akhirnya saya ingat siapa perempuan itu.
‘Hei kak.’ Kata saya. Saya lupa
siapa namanya. Maaf.
‘Hei. Kamu cari buku apa bin?’
Tanyanya kembali.
‘Cari buku apa aja yang bagus.’
‘Disini bagus-bagus semua.’
‘Lalu apa yang bagus menurut
kakak?’ tanya saya.
Tampangnya seperti bertanya pada
diri sendiri, sekiranya buku apa yang bagus. Dilihat dari pakaian yang
digunakan, bisa ditebak kalau dia berkerja di toko buku itu.
‘Kakak kerja disini?’ tanya saya
dengan jawaban yang sudah saya ketahui sebelum dia jawab.
‘Iya.’
‘Hooo.’
‘Kamu apa kabar?’
‘Alhamdulillah baik. Sendirinya
gimana?’
‘Alhamdulillah baik.’ Jawabnya
dengan senyuman yang manis.
‘Oya, suka buku ini gak?’ Kata saya
sambil mengambil buku yang sebenarnya tidak saya sukai.
‘Enggak. Aku sukanya novel. Kamu tambah ganteng.........’
Lalu kami mengobrol cukup lama
sambil saya bantu dia merapikan buku. Kamu tidak harus tau apa yang kami
obrolkan. Kamu juga tidak harus tau buku apa yang sebenarnya saya beri unjuk ke
dia. Ingin rasanya berlama-lama dengannya, hanya saja saya harus membiarkan dia
fokus berkerja. Tapi yang jelas, saya akan sering main ke toko buku itu. Bukan
untuk bertemu dia, tapi untuk membeli buku.
Selesai kami membeli buku, saya dan
Alif ke bawah untuk makan.
‘Lif, tadi saya ketemu alumni.’
Kata saya.
‘Siapa?’ tanya sambil makan.
‘Gak tau. Tapi dia tau nama saya.’
‘Cewek, cowok?’
‘Cewek. Cantik. Saya ingat dia,
tapi saya gak tau namanya. Subhanallah deh lif.’
‘Hahaha, hati-hati entar jatuh
cinta.’ Katanya.
‘Hus jangan begitu. Saya mencoba
setia.’
‘Hahaha, setia sama siapa? Situ kan
jomblo bin.’
‘Saya mencoba setia.’
‘Setia sama siapa?’ tanyanya lagi.
‘Sama dia.’ Kata saya dengan telunjuk
mengarah ke atas. Mengartikan dia adalah Tuhan Yang Maha Esa.
‘Hahaha iya deh. Berarti nanti
kalau punya istri, lo gak setia?’ Jawabnya dengan canda.
‘Setiap kesetiaan akan dibalas
sebaik-baiknya.’
Setelah selesai makan, pulang lah
kami. Lebih tepatnya ke sekolah dulu, ngambil motor saya lalu baru pulang ke
rumah masing-masing. Tapi tidak dengan kakak kelas yang ada di toko buku tadi.
Dia harus berkerja, kemudian kuliah. Dan kepada kakak kelas saya nan cantik
yang telah ingat nama dan wajah saya, saya ucap terima kasih. Entah bagaimana kalau
tidak ada kamu di hari itu, mungkin saya akan bosan.
Bosan karena tidak
kunjung menemukan hal yang menarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar