Yogjakarta 2015


Kala itu saya lagi di sana. Ya ke sana. Tempat yang katanya istimewa. Saya penasaran apa yang istimewanya. Tempat yang katanya kota kenangan. Saya penasaran mana kenangannya. Yasudahlah, saya tak perlu repot mencarinya. Nanti juga datang sendiri.

Saya jalan ke sana. Lebih tepatnya ke Malioboro. Ramai. Banyak manusia, kuda, burung, jangkrik, kodok, dan binatang lainnya yang mungkin luput dari mata saya dan manusia yang lain. Di sana memang ramai, tapi saya sendiri. Teman-teman saya sedang sibuk dengan temannya yang lain. Sedangkan saya, sedang sibuk melihat ramainya manusia yang sibuk. Sibuk tertawa, sibuk berbincang, sibuk menawar harga, dan sibuk-sibuk lainnya. Hal yang pertama saya cari adalah dia, teman saya yang bernama Nada. Bukan! bukan untuk menagih hutang, tapi untuk mentraktir wedang ronde yang katanya “minuman para raja”. Telah saya temui dia. Lalu saya panggil dia, sedikit teriak karena jauh. Kemudian dia jawab sapaan saya dengan melangkah menjauh. Mungkin dia tau, ada pria aneh yang memanggilnya. Tidak jadilah dia minum minuman para raja bersama raja.

Tak masalah. Saya minum saja sendiri sambil lihat manusia lalu lalang. Di sana, di tempat saya minum wedang ronde, ada penjual. Pria tampaknya. Lalu pesanlah saya satu mangkuk wedang ronde.

‘Mas wedang ronde satu.’ Kata saya.

‘Siap den.’ Katanya, siap memenuhi pesanan saya.

Saya duduk sendiri. Tak apa lah sendiri, saya jadi bisa hikmat menikmati minuman para raja. Jika ada Nada di sana, pastilah saya tidak sendiri dan pastilah dia akan dikira permaisuri saya. Entah siapa yang mau mengira seperti itu.

Saya sedikit bicara dengan penjualnya. Sedang pusing. Bukan! bukan karena patah hati. Tapi memang mau pusing saja, biar seperti orang penting.

‘Mas, nih uangnya. Terima kasih.’ Kata saya sambil memberi uang lima puluh ribu.

‘Gak ada uang kecil den?’

‘Nggak ada. Mas ada uang kecil?’

‘Ada. Tapi gak cukup buat kembalian.’

‘Memang kembaliannya jadi berapa?’

‘Jadi empat puluh ribu den.’

‘Oh yauda, tambahin pake uang saya aja.’

‘Maksudnya den?’ si Penjual bingung, saya sedang mengajaknya bermain.

‘Iya pakai uang saya aja. Mas ada uang kecil berapa?’


‘Tiga puluh ribu den.’

‘Nah, nih pake uang saya aja.’ Saya beri dia uang lima puluh ribu, dia beri saya tiga puluh ribu.

‘Nih sih malah raden belinya jadi dua puluh ribu.’ Dia jujur kepada saya.

‘Tak apalah, ini kan kota istemewa katanya, kota kenangan pula. Yauda, terima kasih mas.’ Kata saya sambil berpamitan untuk jalan lagi entah kemana.

Saya jalan ke sana. Ke tempat yang juga ramai dan masih di Malioboro. Ada pertunjukan musik, “keren” kata saya. Mereka berhasil membuat beberapa delman jadi sulit lewat karena sangking ramainya penonton. Belum saya temui yang istimewa dan akhirnya saya jalan lagi. Kali ini saya lihat ramai orang berbelanja, makan, dan membuat kenangan bersama pasangan mereka. Saya? Hanya jadi pemerhati. Lagi pula Tuhan sudah menciptakan berbagai keindahan di dunia ini tak lain untuk kita perhatikan dan amati. Agar kita tau bahwa Tuhan itu juga Maha Kuasa.

Saya bosan jadi pemerhati, akhirnya saya buat lagi cerita. Ya saya cari lagi wedang ronde. Tapi sebelum itu saya temui teman saya, Hendri.

‘Hey.’ Kata saya.

‘Hei bin.’

‘Lagi nyari apa?’ tanya saya dengan jawaban yang sudah saya ketahui.

‘Nyari gantungan kunci. Lo abis darimana?’

‘Dari bulan. Itu gantungan kunci bagus. Cocok.’

‘Cocok? Kok lo tau gue beli gantungan kunci buat orang.’

‘Iya, kelihatan. Wajahmu sumringah.’

‘Iya apa?’ dia bingung.

Saya tidak ikut bingung. Saya pun pergi, karena saya harus buat cerita lagi di tempat wedang ronde. Sebelumnya, saya telah berpamitan kepada Hendri. Tenang saja, saya sudah lama belajar sopan santun. Bahkan sampai sekarang.

Saya pun sampai di tempat wedang ronde. Kali ini tempat yang berbeda. Penjualnya ibu-ibu, suaminya kerja di sana. Di hotel yang tak jauh dari keramaian. Jadi penjaga keamanan katanya. Tapi kata saya jadi superhero. Kenapa? Sama saja lah.

‘Bu, pesan satu.’ Kata saya.

‘Engge den.’

Tak sampai satu menit pesanan datang. ‘Nih den.’

‘Loh kok ini bu?’ kata saya.

‘Emang raden pesan apa?’

‘Pesan nasi goreng ada?’

‘Gak ada den. Ibu cuma jual wedang ronde.’

‘Yasudah, saya pesan pizza deh. Ada?’

‘Gak jual juga den.’

‘Yasudah wedang ronde aja.’ Kata saya dengan sedikit senyum.

‘Ibu tinggal dimana?’ kata saya lagi.

‘Gak jauh dari sini den. Raden tinggal dimana? Dari Yogja juga?’

‘Sama seperti ibu.’

‘Disana?’ katanya sambil menunjuk rumahnya.

‘Enggak. Saya tinggal di bumi sama seperti ibu.’

‘Hahaha bisa aja den.’

‘Ibu mau tau kenapa Yogja dikatakan daerah istimewa?’

‘Bukannya karena bentuk pemerintahan di sini ada dua ya den?’

‘Bukan. Itu biasa. Di Perancis bentuk pemerintahannya juga ganda.’

‘Terus?’

‘Daerah ini istimewa karena hanya disini saya yang rakyat biasa malah dipanggil “raden”. Entah bagaimana kalau yang beli benar seorang raja. Mungkin gak ibu panggil dia Yang Mulia?’

‘Hahaha, mungkin.’ Katanya dengan wajah yang tampak sedikit terhibur.

‘Jangan panggil dia seperti itu bu.’

‘Kenapa?’

‘Gak sopan.’

‘Loh kok bisa?’

‘Iya, kita gak boleh memandang orang dari kastanya karena semuanya sama di mata Tuhan.’

‘Terus panggil apa?’

‘Panggil apa aja. Senyamannya ibu. Pak atau mungkin sayang. Karena “Yang Mulia” hanya Gusti Allah bu. Hahaha, sok tau ya saya? maaf ya bu.’

‘Hahaha iya den.’

‘Bu tambah lagi wedangnya.’


Malam silih berganti. Tak terasa sudah empat mangkok saya habiskan. Terima kasih kepada Ibu yang saya beri nama “Ramah” karena telah ramah kepada saya dan mungkin kepada orang lain. Yogja? Apa mungkin saya akan kesana lagi? Saya rasa Yogja tidak akan membalasnya karena Yogja adalah daerah, tidak bisa bicara, kecuali manusia yang ada di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar