Kala
itu saya lagi di sana. Ya ke sana. Tempat yang katanya istimewa. Saya penasaran
apa yang istimewanya. Tempat yang katanya kota kenangan. Saya penasaran mana
kenangannya. Yasudahlah, saya tak perlu repot mencarinya. Nanti juga datang
sendiri.
Saya
jalan ke sana. Lebih tepatnya ke Malioboro. Ramai. Banyak manusia, kuda,
burung, jangkrik, kodok, dan binatang lainnya yang mungkin luput dari mata saya
dan manusia yang lain. Di sana memang ramai, tapi saya sendiri. Teman-teman
saya sedang sibuk dengan temannya yang lain. Sedangkan saya, sedang sibuk
melihat ramainya manusia yang sibuk. Sibuk tertawa, sibuk berbincang, sibuk
menawar harga, dan sibuk-sibuk lainnya. Hal yang pertama saya cari adalah dia,
teman saya yang bernama Nada. Bukan! bukan untuk menagih hutang, tapi untuk
mentraktir wedang ronde yang katanya “minuman para raja”. Telah saya temui dia.
Lalu saya panggil dia, sedikit teriak karena jauh. Kemudian dia jawab sapaan
saya dengan melangkah menjauh. Mungkin dia tau, ada pria aneh yang
memanggilnya. Tidak jadilah dia minum minuman para raja bersama raja.
Tak
masalah. Saya minum saja sendiri sambil lihat manusia lalu lalang. Di sana, di
tempat saya minum wedang ronde, ada penjual. Pria tampaknya. Lalu pesanlah saya
satu mangkuk wedang ronde.
‘Mas
wedang ronde satu.’ Kata saya.
‘Siap
den.’ Katanya, siap memenuhi pesanan saya.
Saya
duduk sendiri. Tak apa lah sendiri, saya jadi bisa hikmat menikmati minuman
para raja. Jika ada Nada di sana, pastilah saya tidak sendiri dan pastilah dia
akan dikira permaisuri saya. Entah siapa yang mau mengira seperti itu.
Saya
sedikit bicara dengan penjualnya. Sedang pusing. Bukan! bukan karena patah
hati. Tapi memang mau pusing saja, biar seperti orang penting.
‘Mas,
nih uangnya. Terima kasih.’ Kata saya sambil memberi uang lima puluh ribu.
‘Gak
ada uang kecil den?’
‘Nggak
ada. Mas ada uang kecil?’
‘Ada.
Tapi gak cukup buat kembalian.’
‘Memang
kembaliannya jadi berapa?’
‘Jadi
empat puluh ribu den.’
‘Oh
yauda, tambahin pake uang saya aja.’
‘Maksudnya
den?’ si Penjual bingung, saya sedang mengajaknya bermain.
‘Iya
pakai uang saya aja. Mas ada uang kecil berapa?’
‘Tiga
puluh ribu den.’
‘Nah,
nih pake uang saya aja.’ Saya beri dia uang lima puluh ribu, dia beri saya tiga
puluh ribu.
‘Nih
sih malah raden belinya jadi dua puluh ribu.’ Dia jujur kepada saya.
‘Tak
apalah, ini kan kota istemewa katanya, kota kenangan pula. Yauda, terima kasih
mas.’ Kata saya sambil berpamitan untuk jalan lagi entah kemana.
Saya
jalan ke sana. Ke tempat yang juga ramai dan masih di Malioboro. Ada
pertunjukan musik, “keren” kata saya. Mereka berhasil membuat beberapa delman
jadi sulit lewat karena sangking ramainya penonton. Belum saya temui yang
istimewa dan akhirnya saya jalan lagi. Kali ini saya lihat ramai orang
berbelanja, makan, dan membuat kenangan bersama pasangan mereka. Saya? Hanya
jadi pemerhati. Lagi pula Tuhan sudah menciptakan berbagai keindahan di dunia
ini tak lain untuk kita perhatikan dan amati. Agar kita tau bahwa Tuhan itu
juga Maha Kuasa.
Saya
bosan jadi pemerhati, akhirnya saya buat lagi cerita. Ya saya cari lagi wedang
ronde. Tapi sebelum itu saya temui teman saya, Hendri.
‘Hey.’
Kata saya.
‘Hei
bin.’
‘Lagi
nyari apa?’ tanya saya dengan jawaban yang sudah saya ketahui.
‘Nyari
gantungan kunci. Lo abis darimana?’
‘Dari
bulan. Itu gantungan kunci bagus. Cocok.’
‘Cocok?
Kok lo tau gue beli gantungan kunci buat orang.’
‘Iya,
kelihatan. Wajahmu sumringah.’
‘Iya
apa?’ dia bingung.
Saya
tidak ikut bingung. Saya pun pergi, karena saya harus buat cerita lagi di
tempat wedang ronde. Sebelumnya, saya telah berpamitan kepada Hendri. Tenang
saja, saya sudah lama belajar sopan santun. Bahkan sampai sekarang.
Saya
pun sampai di tempat wedang ronde. Kali ini tempat yang berbeda. Penjualnya
ibu-ibu, suaminya kerja di sana. Di hotel yang tak jauh dari keramaian. Jadi
penjaga keamanan katanya. Tapi kata saya jadi superhero. Kenapa? Sama saja lah.
‘Bu,
pesan satu.’ Kata saya.
‘Engge
den.’
Tak
sampai satu menit pesanan datang. ‘Nih den.’
‘Loh
kok ini bu?’ kata saya.
‘Emang
raden pesan apa?’
‘Pesan
nasi goreng ada?’
‘Gak
ada den. Ibu cuma jual wedang ronde.’
‘Yasudah,
saya pesan pizza deh. Ada?’
‘Gak
jual juga den.’
‘Yasudah
wedang ronde aja.’ Kata saya dengan sedikit senyum.
‘Ibu
tinggal dimana?’ kata saya lagi.
‘Gak
jauh dari sini den. Raden tinggal dimana? Dari Yogja juga?’
‘Sama
seperti ibu.’
‘Disana?’
katanya sambil menunjuk rumahnya.
‘Enggak.
Saya tinggal di bumi sama seperti ibu.’
‘Hahaha
bisa aja den.’
‘Ibu
mau tau kenapa Yogja dikatakan daerah istimewa?’
‘Bukannya
karena bentuk pemerintahan di sini ada dua ya den?’
‘Bukan.
Itu biasa. Di Perancis bentuk pemerintahannya juga ganda.’
‘Terus?’
‘Daerah
ini istimewa karena hanya disini saya yang rakyat biasa malah dipanggil “raden”.
Entah bagaimana kalau yang beli benar seorang raja. Mungkin gak ibu panggil dia
Yang Mulia?’
‘Hahaha,
mungkin.’ Katanya dengan wajah yang tampak sedikit terhibur.
‘Jangan
panggil dia seperti itu bu.’
‘Kenapa?’
‘Gak
sopan.’
‘Loh
kok bisa?’
‘Iya,
kita gak boleh memandang orang dari kastanya karena semuanya sama di mata
Tuhan.’
‘Terus
panggil apa?’
‘Panggil
apa aja. Senyamannya ibu. Pak atau mungkin sayang. Karena “Yang Mulia” hanya
Gusti Allah bu. Hahaha, sok tau ya saya? maaf ya bu.’
‘Hahaha
iya den.’
‘Bu
tambah lagi wedangnya.’
Malam
silih berganti. Tak terasa sudah empat mangkok saya habiskan. Terima kasih
kepada Ibu yang saya beri nama “Ramah” karena telah ramah kepada saya dan
mungkin kepada orang lain. Yogja? Apa mungkin saya akan kesana lagi? Saya rasa Yogja tidak akan membalasnya karena Yogja adalah daerah, tidak bisa bicara,
kecuali manusia yang ada di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar